Soal bagaimana wirausahawan politik sayap-kanan di seluruh dunia menggunakan rekayasa ketersinggungan untuk memobilisasi pendukung dan menyingkirkan lawan.
Di Amerika Serikat, unsur-unsur keagamaan sayap-kanan mengobarkan ancaman eksistensial terhadap Islam serta menyebarkan retorika anti- Muslim ke pentas politik arus utama. Di Indonesia, Muslim garis-keras memanaskan hawa intoleransi dengan menekan gereja dan kelompok minoritas agama dan kepercayaan. Di India, pendukung radikal Narendra Modi memantik kekacauan komunal dan penyensoran atas karya-karya akademis dan seni demi kepentingan para nasionalis Hindu.
Wabah intoleransi agama biasanya dianggap sebagai fenomena yang spontan dan berakar pada tradisi agama-agama itu sendiri, yang saling bertabrakan. Tapi dalam buku ini, Cherian George memperlihatkan bahwa wabah tersebut sebagian besarnya melibatkan kampanye dahsyat para oportunis politik untuk memobilisasi pendukung dan menyingkirkan lawan. Jaringan sayap-kanan memanfaatkan ujaran kebencian dan ketersinggungan agama sebagai instrumen identitas politik, seraya mengeksploitasi ruang demokratis untuk mempromosikan agenda yang menghancurkan nilai-nilai demokrasi itu sendiri.
George menyebut strategi ini “pelintiran kebencian” – teknik bermata-dua yang mengombinasikan ujaran kebencian (hasutan melalui tindak menyetankan kelompok lain) dengan rekayasa ketersinggungan (menampilkan kemarahan yang dibuat-buat). Teknik ini dibawa ke masyarakat yang beragam, seperti masyarakat Buddha di Myanmar dan Kristen Ortodoks di Rusia. George meninjau tiga negara demokratis terbesar di dunia, di mana kelompok-kelompok intoleran dalam Hindu sayap-kanan India, Kristen sayap-kanan Amerika, dan Muslim sayap-kanan Indonesia menjadi pelaku pelintiran kebencian. Dia juga menunjukkan bagaimana Internet dan Google telah membuka kesempatan baru bagi munculnya pelintiran kebencian lintas-batas
No comments:
Post a Comment